Seorang Ulama Sufi dan Pejuang
Author Buku: Abu Hamid
ISBN: 978-979-461-175-1
Author Resensi: N Ratih Suharti
Tanggal Resensi: 12 Desember 2024
Resensi Buku:
Sosok Syekh Yusuf di masa kini seakan hanya sayup terdengar di telinga bangsa Indonesia. Kalaupun dikenal, hanya bersifat lokal, itupun tertimbun oleh warna legenda, bersifat mitologis, tidak masuk akal dan a-historis. Prof Dr Abu Hamid melalui buku yang berjudul “Syekh Yusuf : Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang”, mengolaborasi jejak-jejak yang ditinggalkan syekh ini melalui naskah-naskah yang ditinggalkannya. Disinilah ditemukan mutiara-mutiara hikmah, nasihat-nasihat bersifat sufistik dari salah seorang “ulama Jawi” masyhur di Masjidil Haram pada masanya. Orangtua yang hanya bersenjata tasbih, namun demikian menggetarkan Kompeni Belanda, bisa ditebak, kualitas macam apa sosok syekh ini.
Tahun 1626 Syekh Yusuf lahir dengan nama Muhammad Yusuf dari seorang ibu yang bernama Sitti Aminah (Putri Gallarang MoncongloE) dan ayahnya bernama Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-14 [1593-1639]). Sejak kecil Yusuf diasuh di istana Gowa, belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten dan Aceh untuk menambah ilmunya. Dari Aceh, ia ke Mekkah dan Damascus (Syam). Selama lima belas tahun, ia sudah belajar dari beberapa ulama dan syekh tarekat di Timur Tengah. Terakhir ia memperoleh ijazah tertinggi, yaitu Taju al-Khalwati Hadiatullah dari gurunya Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi dalam tarikat Khalwatiyah.
Dari Timur Tengah, ia kembali ke Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Segera ia diangkat menjadi mufti dan menantu sultan. Posisi ini dia gunakan untuk mengembangkan ajarannya dan tarekat Khalwatiyah di kalangan penduduk Banten dan sekitarnya. Namanya mulai masyhur dan terlibat pula dalam percaturan politik dan ekonomi Banten. Perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji atas adu domba Kompeni Belanda menimbulkan perang terbuka. Dalam situasi demikian Syekh Yusuf diangkat menjadi panglima di antara empat orang panglima perang. Perang terbuka menghadapi Kompeni dilakukan dengan taktik perang gerilya di sekitar Jawa Barat. Syekh Yusuf memimpin 5.000 laskar terdiri atas orang-orang Sunda, Melayu, Makassar dan Bugis. Walaupun Sultan Ageng sudah ditangkap dan panglima lainnya sudah tewas, perang gerilya dilanjutkan oleh Syekh Yusuf dan tetap bertahan selama dua tahun (1682-1684).
Akhirnya Syekh Yusuf ditangkap di daerah Mandala atas tipu muslihat Van Happel. Putri Syekh Yusuf yang bernama Asma dibawa menghadap ayahnya sebagai pancingan. Syekh Yusuf dibawa ke Cirebon dan seterusnya ke Batavia. Anak buahnya yang orang Makassar dan Bugis dikembalikan ke Sulawesi. Beberapa bulan dalam penjara di Batavia, ia diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) atas keputusan pemerintah Kompeni. Hubungan Syekh Yusuf di Ceylon dengan pengikutnya di Jawa Barat dan Makassar tetap berlangsung melalui jemaah haji. Hubungan ini tercium oleh Kompeni, sehingga dia diasingkan ke Afrika Selatan pada tahun 1694 dalam usia 69 tahun bersama 49 orang keluarga dan pengikutnya. Disana ia wafat dalam tahun 1699 M. Kerangka tulang Syekh Yusuf digali oleh keluarganya dan dibawa pulang oleh keluarganya pada tahun 1704 untuk dimakamkan kembali di Lakiung Gowa. (N Ratih Suharti)
Kata Kunci: Biografi Syekh Yusuf Makassar – Ulama Sufi