Ayah Menyayangi Tanpa Akhir
Author Buku: Kirana Kejora
ISBN: 978-602-1298-63-3
Author Resensi: N Ratih Suharti
Tanggal Resensi: 06 Desember 2022
Resensi Buku:
Berawal dari pertemuan Keisha Mizuki, perempuan asli Jepang yang tercatat sebagai mahasiswi di Royal Tropical Institute Tropen Museum Amsterdam dengan Arjuna Dewangga (Juna) seorang mahasiswa dari Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Keisha berhasil mengikuti program penelitian dan pertukaran mahasiswa bekerjasama dengan universitas besar di Yogyakarta di Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya. Perempuan berambut lurus sepinggang ini suka akan sejarah, hal tersebut tak lepas dari peran besar leluhurnya yang pernah menjajah Indonesia. Ada beberapa catatan peninggalan kakek dari ibunya Keisha yang gugur di medan perang yang membuat Keisha penasaran dengan salah satu catatan itu yakni tentang kebesaran Gajah Mada. Keisha tertarik untuk meneliti sejarah Mahapatih karena meski Indonesia merupakan negeri dengan sekian ribu pulau, namun bisa disatukan dengan dahsyat oleh seorang Mahapatih Gajah Mada yang hingga kini asal usulnya masih sangat misterius. Semua penelitian yang Keisha lakukan selalu berdasar atas tujuannya meneruskan amanah kakeknya yang banyak belajar dari bangsa Indonesia. Amanah itu berupa kalimat “bangsa yang besar adalah bangsa yang berani melawan”. (hal 56)
Sejak saat Keisha meminjam buku sejarah tua milik Juna yakni buku “Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara/M Yamin” dan “Nagarakretagama, Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok/J.L.A. Brandes”, hubungan mereka semakin akrab. Juna tertarik pada Keisha sejak pandangan pertama. Hubungan itupun berlanjut lebih serius saat Juna mengatakan cintanya kepada Keisha. Tetapi hubungan Juna dan Keisha terhalang oleh restu dari keluarga kedua belah pihak. Alasannya klise, hanya karena kakek dari ibu Keisha gugur di Indonesia dan kakek dari ibu Juna meninggal karena perang melawan penjajah (hal 79).
Walaupun begitu, pada akhirnya Juna tetap bersikukuh ingin menikahi Keisha di usia mereka yang terbilang masih muda. Mereka berdua berkomitmen akan “menikah dini, namun juga lulus dini” karena Keisha dan Juna adalah mahasiswa yang cerdas sehingga mereka tetap mengutamakan pendidikan. Dengan berbekal kenekatan yang cukup kuat, akhirnya mereka tetap melangsungkan pernikahan walaupun tanpa restu dari orang tua kedua belah pihak. Pernikahan Keisha dan Juna berlangsung di sebuah mesjid kecil di daerah Kuningan Karang Malang, dekat dengan rumah kontrakan Juna.
Setelah enam bulan menikah, Keisha hamil. Juna sebagai suami yang baik, selalu menjaga Keisha dengan baik. Juna sering membuatkan jus buah untuk gizi kehamilan Keisha. Tak terasa makin lama kandungan Keisha semakin besar. Keisha juga sudah menyiapkan nama untuk anaknya yang akan lahir. Rajendra Mada Prawira jika laki-laki, Rajendra (dewa/raja tampan dan agung), Mada dari nama Gajah Mada, tokoh yang sedang Keisha teliti dan Prawira (pemberani). Arke Padma Nawangwulan jika perempuan. Arke (gabungan nama Arjuna dan Keisha), Padma (bunga Teratai indah, sumber energi, Lambang Dewi Laksmi, dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan dan kebijaksanaan. Dalam Kitab Purana, Dewi Laksmi adalah ibu dari alam semesta. Nawang Wulan artinya memandang rembulan, semoga ia bisa jadi rembulan yang mencahayai bumi. Keisha memang suka dengan nama-nama yang berasal dari bahasa Sansekerta dan Jawa.
Juna menangis histeris saat mengetahui Keisha meninggal sesaat setelah melahirkan bayi lelakinya. Keisha mengalami pendarahan hebat di usia kehamilan sembilan bulan hingga keputusan yang diambil operasi caesar tanpa bisa ditawar. Operasi emergency caesar, darurat, terpaksa dilakukan karena solusio plasenta, yakni lepasnya plasenta (organ yang memberi nutrisi kepada janin) dari tempat perlekatannya di dinding uterus (rahim) Keisha. Selama sebulan Juna dalam duka. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya Juna akhirnya bisa bangkit dan menerima kenyataan bahwa istrinya sudah tiada. Juna kini telah menjadi seorang ayah, bukan lagi seorang suami. Menjadi orang tua tunggal bagi Mada (Rajendra Mada Prawira) yang harus dirawat, dijaga, dibesarkan dan ditata masa depannya. Menjadi orang tua tunggal dalam usia muda, tidaklah mudah. Namun semua harus dijalani, dihadapi dan itu sudah jadi resiko sebuah pilihan. (hal 101)
Dengan segenap kasih sayangnya Juna membesarkan anak lelaki semata wayangnya sendiri. Dengan ditemani oleh Mbok Jum yang merupakan pembantu setia dari keluarga besar Juna, dan juga Pak Riyanto yang merupakan sopir serta tukang kebun. Juna selalu mengajarkan sejarah dan juga budaya dengan cara yang menarik.
Tetapi semua tinggal kenangan saat Juna mengetahui bahwa anak semata wayangnya mengidap kanker otak stadium IV. Sebagai apoteker dia dan sahabatnya Dean yang bekerja sebagai dokter berusaha untuk menyembuhkan Mada. Tetapi pada akhirnya Mada tetap meninggal di usianya yang baru menginjak 17 tahun.
Kelebihannya adalah ceritanya sangat menarik dan juga menginspirasi serta mengharukan. Sesuai dengan pesan dari Kirana Kejora "Pada saatnya kita memang harus sendiri.", novel ini menceritakan tentang Juna yang mengalami kehilangan dua kali. Yang membuatnya akhirnya benar-benar merasakan sendiri. Selain itu novel ini juga banyak menceritakan tentang keunikan, budaya, lokasi dan tradisi dari kedua negara asal yaitu Jepang dan Indonesia terutama di daerah Yogyakarta.
kekurangan seperti dalam pengetikan ada beberapa kata yang penulisannya salah dan juga pada daftar isi, hanya terdapat judul tanpa adanya nomer halaman.
Meski alur ceritanya maju mundur, akan tetapi secara keseluruhan novel ini patut untuk dibeli, dibaca dan dinikmati. Karena dengan membaca novel ini banyak hal kita dapat yang mengajarkan kita tentang perjuangan seorang ayah dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Tentang bagaimana membagi waktu yang seimbang antara pekerjaan, membesarkan dan mendidik anak, juga tentang bagaimana mensyukuri dan menikmati arti kesepian, kesunyian dan kehilangan. Dan pada saatnya juga pada akhirnya kita memang harus menghadapi semuanya sendiri... ***