JIKA KUCING LENYAP DARI DUNIA / genki kawamura

Author Buku: genki kawamura

ISBN: 978-602-6486-43-1

Author Resensi: N Ratih Suharti

Tanggal Resensi: 31 Agustus 2025

Resensi Buku:

Novel ini adalah dongeng modern yang menyentuh hati tentang kehilangan, cinta, dan arti hidup. Ia mengajak pembaca merenungkan: Apa yang akan kita korbankan demi waktu ekstra? Betapa benda-benda biasa ternyata jadi pusat memori dan rasa. Dan kenangan keluarga, hubungan, dan kasih sayang sejati—seperti yang diwakili oleh Kubis—adalah inti dari eksistensi manusia. Novel ini mengangkat tema besar: kehidupan adalah rangkaian hal-hal sederhana yang sering kita abaikan—saat terancam mati, kita akhirnya menyadari makna dari setiap detik, hubungan, dan memori.

Tokoh utama adalah seorang pria muda (narator “aku”) bekerja sebagai tukang pos yang hidup sendiri. Ia mengalami hubungan renggang dengan ayahnya, sementara ibunya telah meninggal—dan ia hanya ditemani oleh kucing kesayangannya, Kubis. Suatu hari, ia didiagnosis mengidap tumor otak stadium akhir, dan tahu nyawanya hanya tersisa beberapa hari atau minggu.

Dalam kekalutan, muncul sosok iblis bernama Aloha, yang menawarkan kesepakatan: setiap hari, tokoh utama bisa hidup satu hari tambahan—jika dia bersedia menghilangkan satu benda yang ia sayangi dari dunia ini. Benda yang hilang bukan pilihan bebas, melainkan ditentukan oleh Aloha. Barang yang Dihilangkan; Hari demi hari, berbagai benda penting lenyap dari dunia: Cokelat, Telepon, Film, Jam, Kucing (Kubis). Setiap hilangnya benda memaksa narator mengingat kembali kenangan dan hubungan dengan orang-orang di hidupnya—mantan pacar, ibu, ayah, teman, dan tentu saja, kucing Kubis.

Hilangnya telepon mengajaknya menghubungi seseorang—dia awalnya memilih mantan pacar, tapi akhirnya menunda—menjelajahi rasa rindu dan penyesalan atas hubungan yang belum selesai. Ketika benda seperti film, jam, dan lainnya lenyap, ia menyadari betapa benda sederhana ternyata memiliki nilai mendalam dalam membentuk kehidupannya dan memori keluarga.

Saat Aloha menyatakan Kubis juga harus dihilangkan, narator mengalami dilema moral terdalam: kucing bukan sekadar hewan peliharaan—Kubis adalah manifestasi cinta ibunya, teman sejati di saat sepi. Kubis secara mengejutkan berbicara (hanya dipahami oleh narator), memperkuat ikatan emosional mereka. Ia akhirnya menolak menghilangkan Kubis—memilih mati dengan damai daripada kehilangan makna cinta dan kesetiaan sejati. Narator menerima keterbatasan hidup dan memilih mengakhiri hari-harinya dengan ketenangan. Ia merapikan urusannya, menulis surat pada ayahnya, bahkan mengantarkan surat terakhir dari ibunya.