Gayo dan Kerajaan Linge : Dari Kerajaan Menuju kecamatan 1025-1945 / YUSRA Habib Abdul gani
Author Buku: YUSRA Habib Abdul gani
ISBN: 978-602-466-118-2
Author Resensi: N Ratih Suharti
Tanggal Resensi: 31 Agustus 2023
Resensi Buku:
Buku ini menyajikan kajian sejarah mengenai asal-usul perkataan 'Gayo' dan sekaligus apologia terhadap sebuah teori yang mengatakan bahwa perkataan 'Gayo' berasal dari bahasa Aceh yang berarti 'Kayo''takut' atau 'melarikan diri'; yang oleh Dr Zulyani Hidayah dikutip dalam buku 'Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia'. Hal ini sudah tentu akan digunakan orang, sebagai rujukan untuk sebuah penulisan karya ilmiah khususnya tentang sejarah Gayo. Apalagi, ensiklopedi ini memperoleh izin terbit dari Departemen Pendidikan & Kebudayaan RI untuk disebarluaskan. Sehubungan dengan itu, sanggahan terhadap teori dinilai sungsang itu dibentang disini juga dengan sajian argumentasi ilmiah.
Selain itu, buku ini juga mengulas tentang sejarah Kerajaan Linge dengan memperlihatkan keanekaragaman fakta, untuk membuktikan keabsahan wujudnya kerajaan ini di Buntul Linge. Disini juga dibuktikan tentang adanya pertalian dan ikatan emosional, kultural, falsafah dan sistem kepercayaan dalam tamadun Gayo antara nenek moyang orang Gayo (generasi awal) sudah mendiami, daerah Loyang Mendale dan Ujung Karang sejak 8400 tahun yang lampau dengan nenek moyang orang Gayo yang berasal dari Konstantinople-Bizantine (sekarang: Turki) yang hijrah ke Buntul Linge dan mendirikan Kerajaan Linge pada tahun 1025 M dan kemudian menyusun Konstitusi (45 Edet Negeri Linge) pada tahun 1115 M.
Di antara fakta yang menarik disini adalah, falsafah pengurusan sebuah kerajaan melalui konstitusi kerajaan Linge yang terdiri dari 45 fasal, berhasil disusun dan dijalankan selama ratusan tahun lamanya, sekaligus sebagai salah satu model pemerintahan modern dalam catatan sejarah dunia dan diketahui lebih tua usianya berbanding adegium pemisahan dan pembagian kekuasaan versi Sultan Iskandar Muda dan teori Trias Politica Mostesque yang baru lahir di era tahun 1600-an. Adalah benar Kerajaan Linge (Gayo) yang memiliki tapal batas wilayah, karakteristik dan identitas, pada gilirannya merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan Aceh Darussalam, akan tetapi tetap dihormati kedudukan, hukum, budaya, adat istiadat dan tradisinya. Kerajaan Linge pada akhirnya ditempatkan ke dalam lingkungan kekuasaan sebagai konsekuensi dari perang menentang kolonial (1873-1945). Walaupun konsep Sarak Opat secara yuridis formal masih memungkinkan untuk dihidupkan, namun rentang masa (1945-2003 –era amandemen UUD 1945), orang Gayo cukup jera dengan serangkaian pengalaman pahit, trauma dan selama itu pula telah berlaku perubahan kejiwaan, kehilangan roh dan kekuatan sejarah, akibat daripada sejarah kerajaan Linge dikoyak dan ditenggelamkan ke dasar lautan sejarah nasional. Namun begitu, orang Gayo secara sukarela masih tetap menundukkan diri kepada ketentuan hukum Adat, terutama terhadap delik pidana ringan dan berat.