Antasari Azhar : Melawan Narasi dan Kriminalisasi

Author Buku: Tofik Pram

ISBN: 978-602-7926-63-9

Author Resensi: Iman Sukwana

Tanggal Resensi: 08 Maret 2024

Resensi Buku:

Salah satu penerbitan buku trilogi Antasari, yang sebelumnya terbit yang berjudul Antasari & Kisah Pembunuhan Menjelang Pemilu (2009) dan Antasari Azhar : Saya Dikorbankan (2014). Buku ini membedah stigma bahwa Antasari Azhar “diadili secara framing” sebagai dalang pembunuhan Nasarudin Zulkarnaen karena motif cinta segitiga. Antasari adalah kriminal. Titik. Khalayak kadung meresepsi dan mempercayainya.

Menurut penulis buku ini, bahwa seorang penulis perlu mengambil peran dalam menjaga harmoni orkhestra sejarah dengan mengabadikan momen-momen krusial agar sejarah tidak hadir secara samar-samar yang menyebabkan memori khalayak menjadi ambyar. Manusia adalah makhluk sejarah. Dia berkembang dengan ingatan tentang fakta-fakta dan peristiwa. Sebuah peristiwa memang tidak abadi, namun manusia bisa belajar darinya hingga waktu yang tidak terbatas (22).

Antasari ditetapkan sebagai tersangka tanpa alat bukti dan publik tak tahu soal itu sehingga tak mempermasalahkannya. Akibatnya publik tak memiliki nalar kritis untuk mempertanyakan, “bukti apa yang menjadi dasar penetapan status tersangka Antasari, bukannya “polisi yang yang menangani perkaranya?” publik hanya pasrah diserbu kabar bahwa “kenapa Antasari bisa menjadi tersangka”. Seolah nalar publik menjadi lumpuh, apalagi setelah kabar itu viral. Seolah-olah kabar yang viral itu pasti benar. (296)

Yang ingin diungkap penulis dari kisah Antasari ini adalah tragedi yang menjamu kita dengan pelajaran berharga, bahwa pada suatu masa hukum dan politik begitu kisruh berkelindan dan menggejala di Indonesia. Hukum dan politik berkolaborasi dalam sebuah formula bernama “pengadilan naratif”, yaitu suatu sistem peradilan yang hanya berbasis pada prasangka, bukan bukti, dimana prasangka-prasangka itu terus menerus dikampanyekan sehingga publik dan pengadil tak mampu lagi menyadari mana fakta-fakta objektif dan mana yang subjektif-ilusif.

Buku ini berupaya menyajikan fakta-fakta kasus yang terjadi pada Antasari, dengan mengumpulkannya dari berbagai media, termasuk melakukan wawancara secara intens dengan narasumber. Bab pertama merekonstruksi kasus Antasari dari segala macam kejanggalannya, menggabungkan antara versi narasi dengan versi klarifikasi dari Antasari. Bab kedua tentang testimoni Antasari terkait hal-hal yang pernah tampak misterius di seputaran perkaranya. Bab ketiga tentang perjalanan karier Antasari yang dikelilingi narasi kurang enak. Bab empat mengenai pergulatan Antasari dari kecil hingga pada posisinya buku ini selesai disusun.(21)

Apapun yang terjadi pada kasus Antasari dengan lika-likunya sebagaimana diungkap pada buku ini, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, tentu kita bisa mengambil pelajaran atau hikmah dari apa yang sudah terjadi. Kita perlu tafakur lalu tadabur kemudian tasyakur pada apa yang terjadi khusunya pada diri kita masing-masing. Seperti petuah bijak jawa bilang “sakbeja-bejane wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada” (seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang senantiasa ingat dan waspada.