Tapak Peradaban Purba Di Lereng Gunung Pulasari / Tim

Author Buku: Moh. Ali Fadillah, Yudhi Deni Mulyadi, Uri M. Rachmawiana, Dadan Sujana, Budi Prakoso, Asep Hilmie

ISBN: 979-98161-0-6

Author Resensi: Iman Sukwana

Tanggal Resensi: 13 Maret 2024

Resensi Buku:

Penilaian kembali terhadap peninggalan arkeologi di pedalaman Banten harus menjadi prioritas pertama sebelum melakukan interpretasi. Upaya itu mengharuskan dilakukannya sebuah pengerjaan arkeologi yang deskriptif. Dengan cara ini diharapkan data arkeologi akan menjadi sumber utama rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Banten dari masa sebelum dikenalnya tulisan (nirleka).

Penulisan hasil penelitian ini berawal dari praduga bahwa mempertimbangkan hasil penelitian terdahulu dan mengkaji ulang sumber sejarah berupa manuskrip dan tradisi lisan, obyek penelitian bertemakan “pertapaan” terletak di gunung atau lereng pegunungan, dekat dengan sumber air, sunyi dan jauh dari keramaian. Praduga tersebut mengarahkan peneliti untuk meneliti situs-situs yang berkarakter geografi di sekitar lereng sebelah utara Gunung Pulosari yakni antara kota Mengger dan Jiput. Selain itu, pada bentang antara Mengger dan Jiput, yang terletak persis di titik pertemuan segitiga gunung, yaitu Gunung Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan.

Terdapat tiga belas kompleks megalitik yang tersebar di Kecamatan Mandalawangi dan satu kompleks situs di Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang. Adapun situs-situs tersebut antara lain Cihunjuran, Balawiku, Salangsari, Tamansari, Gunung Sembung, Phalus Gopar, Mandalawangi, Citaman dan Batu Go’ong.

Pada situs-situs tersebut ditemukan pula peningggalan megalitik berupa menhir, lumping batu, batu berlubang bulat, batu berlubang persegi empat, batu berlubang runcing, batu datar, batu silindrik, batu cekung, batu cembung, batu coet dan batu pipisan. Sementara peninggal artefak berupa keramik, tembikar, terrakota, manik-manik, tatal batu, dan genta pendeta.

Banyak orang yang meyakini bahwa peradaban hanya dapat tumbuh di pesisir seperti halnya di Bnaten lama, tetapi perlu dicatat sekarang, peradaban itu sama sekali tidak relevan jika dilihat dari kemajuan yang dialami masyarakat pesisir berbasis perniagaan, yang telah mengembangkan kekuasaan ekonomi politik seperti di Banten Girang dan Banten lama; yang telah menghasilkan sebuah masyarakat kosmopolit yang multikultural. Masyarakat agraris di pedalaman pun memeiliki ciri peradabannya sendiri. Peradaban pertanian di lembah Mandalawangi tampaknya akan terus berkembang dalam siklus hidup manusia, belum akan berhenti untuk berubah, tetapi perubahan itu tetap ada pada porosnya; sebuah kekuatan centripetal dari setiap pusat kekeramatan.